Masjid Kuno di Kerinci, Cermin Adaptasi dan Akulturasi
Masjid merupakan sebutan bagi rumah ibadah umat Islam. Dalam sejarah Islam, masjid Quba merupakan masjid yang dibina paling awal oleh nabi Muhammad. Pembangunan masjid berikutnya adalah masjid Nabawi yang dibangun sekitar abad ke-8 M. Masjid sekaligus menjadi pusat kegiatan umat Islam pada masa kenabian nabi Muhammad.
Keberadaan masjid di suatu tempat, menandakan hadirnya umat Islam di sana. Bahkan dapat dikatakan menandakan telah berdirinya sistem politik Islam yang kuat bila masjid tersebut dibangun dengan megah. Sebagai contoh Masjid Muawiyah di Suriah yang dibangun ketika Dinasti Muawiyah berkuasa.
Begitu pula ketika agama Islam datang ke Nusantara. Kehadiran masjid yang megah menandakan telah berdirinya sistem politik berbasis atau bernuansa Islam di suatu tempat. Begitu pula di wilayah Kerinci yang kaya akan tinggalan masiid-masjid kuno.
Penelitian arkeologi terdahulu berhasil mendata beberapa masjid kuno di Kerinci. Antara lain: Masjid Agung Pondok Tinggi, Masjid Keramat Pulau Tengah, Masjid Nurul Jalal Tanjung Pauh, Masjid Kuno Lempur Tengah, dan Masjid Kuno Lempur Mudik.
Hampir semua masjid ini dibangun dengan arsitektur tradisional Kerinci. Masjid dibangun dengan denah persegi dan persegi panjang. Atap berbentuk limas dengan tumpang dua hingga lima. Ditutupi dengan sirap atau ijuk. Puncak masjid dihiasi mustaka berbentuk bawang.
Masjid dibuat dari bahan kayu yang diambil dari hutan di sekitar desa. Biasanya kayu yang digunakan adalah kayu keras yang bisa bertahan dari kerapuhan seperti kayu medang, kayu banio, dan kayu surian. Kayu tersebut digunakan untuk bagian tiang persegi delapan, dinding, alang, dan komponen lainnya. Balok-balok kayu tersebut disusun dengan teknik pasak kayu hingga berdiri bangunan masjid.
Masjid kuno di Kerinci juga dihiasi dengan berbagai ornamen yang sangat indah. Berbagai ornamen tersebut dinamakan dengan istilah Kerinci seperti keluk paku, keluk paku tampuk kelapo, paruh enggang, simatoari, paku rancah, pucuk rebung, tampuk manggis, dan lain sebagainya.
Lantas mengapa bangunan masjid kuno di Kerinci tidak sama dengan bangunan masjid di pusat-pusat peradaban Islam seperti India, Suriah, Persia, Mesir, dan Yaman?
Pertanyaan ini bisa dijawab dengan teori akulturasi. Teori ini menjelaskan ketika unsur budaya asing diolah dan diterima oleh kelompok manusia berbudaya lain tanpa menghilangkan budaya mereka sendiri.
Islam yang datang dari jazirah Arab, didakwahkan kepada penduduk Kerinci yang sebelumnya telah memiliki budaya. Unsur-unsur Islam diterima oleh penduduk tanpa menghilangkan unsur budaya yang mereka miliki, seperti yang tercermin dari arsitektur masjid.
Di dalam Islam, tidak ada aturan baku di dalam mendirikan masjid. Yang pasti masjid harus menghadap ke kiblat. Barulah kemudian ada penambahan elemen baru, seperti adanya mihrab sebagai tempat imam, adanya mimbar sebagai tempat khatib berkhutbah. serta tempat berwudhu. Oleh karena tidak adanya aturan baku, ketika masjid dibangun, orang Kerinci membangun sesuai dengan teknik tradisional dan pengetahuan arsitektur yang dimiliki.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Aryandini Novita(1998) menunjukkan bahwa adanya bentuk adaptasi dalam arsitektur masjid kuno di Kerinci. Masjid dibuat dari bahan kayu, berbentuk panggung, dan dengan teknik pasak adalah bentuk adaptasi terhadap lingkungan Kerinci yang rawan gempa. Atap limas dan tumpang juga untuk mempercepat jatuhnya air hujan sehingga tidak menggenang. Hal ini mencegah kerusakan atap lebih cepat. Di samping itu, atap ijuk dan sirap adalah bahan yang tahan air dan tahan panas. Hal ini sangat cocok untuk wilayah beriklim tropis dan suhu di atas rata-rata seperti di Kerinci.
Referensi:
Sadzali, A. M., & Fitrah, Y. (2018). KAJIAN SENI ISLAM ARSITEKTUR DAN RAGAM HIAS MESJID KUNO DI DATARAN TINGGI JAMBI: SUATU KAJIAN ARKEOLOGI ISLAM DALAM UPAYA MELESTARIKAN DAN MENGEMBANGKAN ISLAM MELAYU JAMBI. Titian: Jurnal Ilmu Humaniora, 2(02), 323 -. https://doi.org/10.22437/titian.v2i02.5813
Novita, Aryandini. (1998). Arsitektur Masjid-Masjid Kuno di Kerinci: Wujud Adaptasi Manusia Terhadap Lingkungannya. Majalah Kalpataru Vol. 13, 1-19